BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Filsafat
itu meliputi berbagai macam permasalahan. Adapun masalah utama yang harus kita
bahas adalah masalah kenyataan, tentang realitas, tentang yang nyata dari
sesuatu. Yang menjadi titik persoalan ialah kita harus memecahkan permasalahan
realitas secara tepat, karena konsepsi kita tentang realitas mengontrol
pertanyaan kita tentang dunia ini. Dan tanpa adanya pertanyaan, kita jelas
tidak akan memperoleh jawaban dari mana kita nantinya akan membina kumpulan
ilmu pengetahuan yang kita miliki dan menetapkan disiplin tentang masalah –
masalah pokoknya.
Ontologi adalah ilmu yang mengkaji
apa hakikat ilmu atau pengetahuan ilmiah yang sering kali secara populer banyak
orang menyebutnya dengan ilmu pengetahuan, apa hakikat kebenaran rasional atau
kebenaran deduktif dan kenyataan empiris yang tidak terlepas dari persepsi ilmu
tentang apa dan bagaimana. Ontologi ilmu membatasi diri pada ruang kajian
keilmuan yang dapat dipikirkan manusia secara rasional dan bisa diamati melalui
panca indera manusia. Sementara kajian objek penelaahan yang berada dalam batas
prapengalaman (seperti penciptaan manusia) dan pasca-pengalaman (seperti surga
dan neraka) menjadi ontologi dari pengetahuan lainnya di luar ilmu.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
pada latar belakang diatas, maka penulis menyusun beberapa topik pembahasan sebagai berikut;
1. Apakah
Pengertian Ontologi?
2. Apakah
Pengertian Metafisika?
3. Apakah
Pengertian Asumsi?
4. Apakah
Pengertian Peluang?
5. Bagaimana
Asumsi dalam Ilmu?
6. Bagaimana
Batas – batas penjelajahan dalam Ilmu?
C. Tujuan Penulisan Makalah
Penulisan
makalah ini bertujuan ;
1. Untuk
mengetahui pengertian Ontologi.
2. Untuk
mengetahui pengertian Metafisika.
3. Untuk
mengetahui pengertian Asumsi.
4. Untuk
mengetahui pengertian Peluang.
5. Untuk
mengetahui deskripsi Asumsi dalam Ilmu.
6. Untuk
mengetahui Batas – Batas penjelajahan dalam Ilmu.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Ontologi
Sebagai sebuah disiplin ilmu, filsafat tentu juga akan
mengalami dinamika dan perkembangan sesuai dengan dinamika dan perkembangan
ilmu-ilmu yang lain, yang biasanya mengalami percabangan. Filsafat sebagi suatu
disiplin ilmu telah melahirkan tiga cabang kajian. Ketiga cabang kajian itu
ialah teori hakikat (ontologi), teori pengetahuan (epistimologi),
dan teori nilai (aksiologi).
Pembahasan tentang ontologi sebagi dasar ilmu berusaha untuk
menjawab “apa” yang menurut Aristoteles merupakan The First Philosophy dan
merupakan ilmu mengenai esensi benda. Kata ontologi berasal dari bahasa Yunani,
yaitu On=being, dan Logos=logic. Jadi, ontologi adalah The
Theory of Being Qua Being (teori tentang keberadaan sebagai
keberadaan). Sedangkan Jujun S. Suriasamantri mengatakan bahwa ontologi
membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau
dengan perkataan lain suatu pengkajian mengenai yang “ada”.
Jadi
dapat disimpulkan bahwa:
Menurut bahasa, ontologi berasal dari Bahasa Yunani, yaitu
On/Ontos=ada, dan Logos=ilmu. Ontologi adalah ilmu tentang hakikat yang ada. Menurut
istilah, ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang
merupakan Kenyataan yg asas, baik yang berbentuk jasmani / konkret, maupun
rohani / abstrak.
B. Metafisika
Bidang
telaah filsafati yang disebut metafisika merupakan tempat berpijak dari setiap
pemikiran filsafati, termasuk pemikiran ilmiah. Pemikiran diibaratkan roket
yang meluncur ke bintang-bintang menembus galaksi, maka metafisika adalah
landasan peluncurannya.
Acuan
berfikir : apakah hakekat kenyataan ini sebenar-benarnya?
Beberapa
tafsiran metafisika : Di alam ini terdapat ujud – ujud yang bersifat gaib
(supernatural) dan ujud-ujud ini bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa bila
dibandingkan dengan alam yang ada. Terdapat beberapa penafsiran yang diberikan
manusia mengenai alam ini. Beberapa tafsiran mengenai metafisika yang
dipaparkan oleh Jujun (1995), sebagai berikut:
Tafsiran 1 :
a.
Animisme
merupakan kepercayaan berdasarkan pemikiran supernaturalisme. Supernaturalisme
adalah manusia percaya bahwa terdapat roh-roh gaib dalam benda tertentu.
b.
Materialisme
(Democritus) merupakan kepercayaan berdasarkan pemikiran naturalisme.
Naturalisme berpendapat bahwa gejala-gejala alam yang terjadi disebabkan oleh
kekuatan alam itu sendiri, yang dapat dipelajari sehingga dapat kita ketahui
kebenarannya.
Tafsiran
2 :
a.
Mekanistik
berpendapat gejala alam merupakan gejala kimia-fisika semata.
b.
Vitalistik
berpendapat hidup adalah sesuatu yang unik yang berbeda secara substansif
dengan proses kimia-fisika.
Tafsiran
3 :
“Proses
berpikir manusia menghasilkan pengetahuan tentang zat yang dipelajarinya”, dari
pernyataan tersebut muncul pertanyaan “Apakah hakikat kebenaran pikiran
tersebut?”.
a.
Monistik
(Christian Wolff) menyatakan pada dasarnya pikiran dan zat itu sama, hanya
berbeda pada gejala yang ditimbulkan yang disebabkan oleh proses yang
berlainan, tetapi keduanya mempunyai substansi yang sama. Proses berpikir
dianggap sebagai aktivitas elektrokimia dari otak.
b.
Dualistik
(Thomas Hyde) berpendapat bahwa zat dan pikiran berbeda secara substantif. Rene
Descartes, John Locke, dan George Berkeley menyatakan apa yang ditangkap oleh
pikiran merupakan penginderaan dari pengalaman manusia yang bersifat mental.
(1) Descartes
berpendapat pikiran itu bersifat nyata sebab dengan berpikir sehingga sesuatu
menjadi ada.
(2) Locke
berpendapat pikiran diibaratkan organ yang menangkap dan menyimpan pengalaman
indera.
(3) Berkeley
menyatakan sesuatu itu ada disebabkan adanya persepsi.
Pada hakikatnya ilmu tidak bisa dilepaskan dari metafisika,
namun seberapa jauh kaitannya, itu semua tergantung kita. Ilmu merupakan
pengetahuan yang mencoba menafsirkan alam ini sebagaimana adanya. Pencapaian
pengetahuan melalui penjelajahan ilmiah akan menimbulkan masalah secara terus
menerus. Pada dasarnya tiap ilmuwan boleh mempunyai filsafat individual yang
berbeda, boleh menganut paham yang berbeda-beda. Titik temu para ilmuan
mengenai hal ini adalah sifat pragmatis dari ilmu.
C. Asumsi
Asumsi adalah praduga anggapan semetara (yang kebenarannya
masih dibuktikan). timbulnya asumsi karena adanya permasalahan yang belum
jelas, seperti belum jelasnya hakekat alam ini, yakni apakah gejala alam ini
tunduk kepada determinisme, yakni hukum alam yang bersifat
universal ataukah hukum semacam itu tidak terdapat sebab setiap gejala
merupakan akibat pilihan bebas ataukah keumuman memang ada
namun berupa peluang, sekedar tangkapan probalistik (kemungkinan
sesuatu hal untuk terjadi).
a. Determinisme
Paham determinisme dikembangkan oleh William Hamilton
(1788-1856) dari doktrin Tomas Hubes (1588-1679) yang menyimpulkan bahwa
pengetahuan adalah bersifat empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak
universal. Aliran filsafat ini merupakan lawan dari paham fatalisme yang
berpendapat bahwa segala kejadian ditentukan oleh nasib yang telah ditetapkan
lebih dahulu.
b. Pilihan bebas
Manusia memiliki kebebasan dalam menentukan pilihannya,
tidak terikat pada hukum alam yang tidak memberikan alternatif. Karakteristik
ini banyak ditemukan pada bidang ilmu sosial. Misalnya, tidak ada tolak ukur
yang tepat dalam melambangkan arti kebahagiaan. Masyarakat materialistik
menunjukkan semakin banyak harta semakin bahagia, tetapi di belahan dunia lain,
kebahagiaan suatu suku primitif bisa jadi diartikan jika mampu melestarikan
budaya animismenya. Sebagaimana pula masyarakat brahmana di India mengartikan
bahagia jika mampu membendung hasrat keduniawiannya. Tidak ada ukuran yang
pasti dalam pilihan bebas, semua tergantung ruang dan waktu.
c. Probabilistik
Pada sifat probabilstik, kecenderungan keumuman dikenal
memang ada namun sifatnya berupa peluang. Sesuatu akan berlaku deterministik
dengan peluang tertentu. Probabilistik menunjukkan sesuatu memiliki kesempatan
untuk memiliki sifat deterministik dengan menolerir sifat pilihan bebas. Pada
ilmu pengetahuan modern, karakteristik probabilitas ini lebih banyak
dipergunakan.
Dalam
menentukan suatu asumsi dalam perspektif filsafat, permasalahan utamanya adalah
mempertanyakan pada pada diri sendiri (peneliti) apakah sebenarnya yang ingin
dipelajari dari ilmu. Terdapat kecenderungan, sekiranya menyangkut hukum
kejadian yang berlaku bagi seluruh manusia, maka harus bertitik tolak pada
paham deterministik. Sekiranya yang dipilih adalah hukum kejadian yang bersifat
khas bagi tiap individu manusia maka akan digunakan asumsi pilihan bebas. Di
antara kutub deterministik dan pilihan bebas, penafsiran probabilistik
merupakan jalan tengahnya.
Sifat
asumsi :
Tidak muthlak atau pasti sebagaimana ilmu yang tidak pernah
ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang
bersifat muthlak. Jadi asumsi bukanlah suatu keputusan muthlak.
Kedudukan
ilmu dalam asumsi :
Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar untuk mengambil
keputusan, karena keputusan harus didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah
yang bersifat relatif.
Resiko
asumsi :
Apa
yang diasumsikan akan mengandung resiko secara menyeluruh. Seseorang yang
mengasumsikan usahanya akan berhasil maka direncanakan akan diadakan pesta
keberhasilannya. Secara tiba-tiba usahanya dinyatakan tidak berhasil. Resikonya
menggagalkan pelaksanaan pestanya.
Kesimpulan
:
(1) Sebuah
asumsi aalah sebuah ketidakpastian.
(2) Asumsi
perlu dirumuskan berdasarkan ilmu pengetahuan.
(3) Timbulnya
asumsi karena adanya sesuatu kejadian / kenyataan.
D. Peluang
Peluang secara sederhana diartikan sebagai probabilitas.
Peluang 0.8 secara sederhana dapat diartikan bahwa probabilitas untuk suatu
kejadian tertentu adalah 8 dari 10 (yang merupakan kepastian). Dari sudut
keilmuan hal tersebut memberikan suatu penjelasan bahwa ilmu tidak pernah ingin
dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat
mutlak. Tetapi ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar bagi manusia untuk
mengambil keputusan, dimana keputusan itu harus didasarkan kepada kesimpulan
ilmiah yang bersifat relatif. Dengan demikan maka kata akhir dari suatu
keputusan terletak ditangan manusia pengambil keputusan itu dan bukan pada
teori-teori keilmuan.
E. Beberapa
asumsi dalam ilmu
Beberapa asumsi dalam ilmu akan terjadi perbedaan pandang
suatu masalah bila ditinjau dari berbagai kacamata ilmu begitu juga asumsi.
Ilmu sekedar merupakan pengetahuan yang mempunyai kegunaan praktis yang dapat
membantu kehidupan manusia secara pragmatis (pragmatis adalah sesuatu yang
mengandung manfaat).
Asumsi-asumsi dalam ilmu contohnya ilmu fisika yakni ilmu
yang paling maju bila di bandingkan dengan ilmu-ilmu lain. Fisika merupakan
ilmu teoritis yang di bangun atas system penalaran deduktif yang meyakinkan
serta pembutktian induktif yang sangat mengesankan. Fisika terdapat celah-celah
perbedaan yang terletak di dalam pondasi dimana dibangun teori ilmiah diatas
yakni dalam asumsi tentang dunia fisiknya (zat, gerak, ruang dan waktu).
Beberapa
perbedaan asumsi :
1.
Newton dalam bukunya Philosipiae Naturalis Principia Mathematika (1686)
berasumsi bahwa keempat komponen bersifat absolut. Zat bersifat absolut dengan
demikian berbeda secara subtantif dengan energi.
2.
Einstein belaianan asumsi dengan Newton di dalam bukunya : The Special
Theory Of Relativity (1905) berasumsi bahwa keempat komponen (zat,
gerak, ruang dan waktu) bersifat relatif. Tidak mungkin dapat mengukur gerak
secara absolute.
3.
Euclides (330-275 SM ) seorang ahli matematika yunani di iskandariyah Mesir.
Terkenal karena menulis buku-buku tentang dasar ilmu ukur yang diuraikan
berdasarkan aksioma-aksioma (kebenaran yang tak perlu lagi diragukan lagi
akan kebenarannya). Dalam masalah tertentu akan cenderung dengan teori
relativitas (Einstein).
Dalam mengembangkan asumsi, maka
harus memperhatikan beberapa hal berikut.
1.
Asumsi
ini harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian disipin keilmuan.
Asumsi
ini harus operasional dan merupakan dasar bagi pengkajian teoretis.. Asumsi
manusia dalam administrasi yang bersifat operasional adalah makhluk ekonomis,
makhluk sosial, makhluk aktualisasi diri atau makhluk yang kompleks.
Berdasarkan asumsi-asumsi ini maka dapat dikembangkan berbagai model, strategi,
dan praktek administrasi.
2.
Asumsi
ini harus disimpulkan dari ‘keadaan sebagaimana adanya’ bukan ‘bagaimana
keadaan yang seharusnya’.
Sekiranya
dalam kegiatan ekonomis maka manusia yang berperan adalah manusia ‘yang mencari
keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya’ maka itu
sajalah yang kita jadikan sebagai pegangan tidak usah ditambah dengan sebaiknya
begini, atau seharusnya begitu. Sekiranya asumsi semacam ini dipakai dalam
penyusunan kebijaksanaan (policy), atau strategi, serta penjabaran
peraturan lainnya, maka hal ini bisa saja dilakukan, asalkan semua itu membantu
kita dalam menganalisis permasalahan. Namun penetapan asumsi yang berdasarkan
keadaan yang seharusnya ini seyogyanya tidak dilakukan dalam analisis teori
keilmuan sebab metafisika keilmuan berdasarkan kenyataan sesungguhnya
sebagaimana adanya.
Seseorang ilmuwan harus benar-benar mengenal asumsi yang
dipergunakan dalam analisis keilmuannya, sebab mempergunakan asumsi yang
berbeda, maka berarti berbeda pula konsep pemikiran yang dipergunakan. Sesuatu
yang belum tersurat (terucap) dianggap belum diketahui atau belum mendapat
kesamaan pendapat.
F.
Batas-batas penjelajahan ilmu
Memulai penjelajahannnya pada
pengalaman manusia dan berhenti di batas pengalaman manusia. Apakah ilmu
mempelajari hal ihwal surga dan neraka? Jawabnya adalah tidak; sebab surga dan
neraka berada di luar jangkauan pengalaman manusia. Baik hal-hal yang terjadi
sebelum hidup kita, maupun apa –apa yang terjadi sesudah kematian kita, semua
itu berada di luar penjelajahan ilmu.
Mengapa ilmu hanya membatasi
daripada hal-hal yang berbeda dalam batas pengalaman kita? jawabnya terletak
pada fungsi ilmu itu sendiri dalam kehidupan manusia: yakni sebagai alat
pembantu manusia dalam menanggulangi masalah-masalah yang dihadapinya
sehari-hari. Persoalan mengenai hari kemudian tidak akan kita nyatakan kepada
ilmu, melainkan kepada agama, sebab agamalah pengetahuan yang mengkaji
masalah-masalah seperti itu.
Ilmu membatasi lingkup
penjelajahannya pada batas pengalaman manusia juga disebabkan metode yang
dipergunakan dalam menyusun yang telah teruji kebenarannya secara empiris.
Sekiranya ilmu memasukkan daerah di luar batas pengalaman empirisnya, bagaimana
kita melakukan pembuktian secara metodologis? bukankah hal ini merupakan suatu
kontradiksi yang menghilangkan keahlian metode ilmiah?
Kalau begitu maka sempit sekali
batas jelajahan ilmu, kata seorang, Cuma sepotong dari sekian permasalahan
kehidupan. Memang demikian, jawab filsuf ilmu, bahkan dalam batas pengalaman
manusia pun, ilmu hanya berwenang dalam menentukan benar atau salahnya suatu
pernyataan. Tentang baik dan buruk, semua (termasuk ilmu) berpaling kepada
sumber-sumber moral; tentang indah dan jelek, semua (termasuk ilmu) berpaling
kepada pengkajian estetik. Ilmu tanpa (bimbingan moral) agama adalah buta,
demikian kata Einstein.
Dengan makin sempitnya daerah
penjelajahan suatu bidang keilmuan maka sering sekali diperlukan “pandangan”
dari disiplin-disiplin lain. Saling pandang-memandang ini, atau dalam bahasa
protokolnya pendekatan multi-disipliner, membutuhkan pengetahuan tentang
tetangga tetangga yang berdekatan. Artinya harus jelas bagi semua: di mana
disiplin seseorang berhenti dan di mana disiplin orang lain mulai. Tanpa
kejelasan batas-batas ini maka pendekatan multidisipliner tidak akan bersifat
konstruktif melainkan berubah menjadi sengketa kapling (yang sering terjadi
akhir-akhir ini).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ontologi adalah ilmu yang membahas
tentang hakikat yang ada, yang merupakan Kenyataan yg asas, baik yang berbentuk
jasmani / konkret, maupun rohani / abstrak.. Hakikat yang dikaji dalam ontology
adalah Metafisika,
asumsi, peluang, asumsi dalam ilmu dan batas
– batas penjelajahan
dalam Ilmu.
Metafisika merupakan tempat berpijak dari setiap pemikiran
filsafati, termasuk pemikiran ilmiah. Asumsi adalah praduga anggapan semetara
(yang kebenarannya masih dibuktikan). timbulnya asumsi karena adanya
permasalahan yang belum jelas. Peluang secara sederhana diartikan sebagai
probabilitas. Ilmu membatasi lingkup penjelajahannya pada batas pengalaman
manusia juga disebabkan metode yang dipergunakan dalam menyusun yang telah
teruji kebenarannya secara empiris. Sekiranya ilmu memasukkan daerah di luar
batas pengalaman empirisnya.
Saran
Berdasar
pada pembahasan diatas tentang “Ontologi, Hakikat Apa yang Dikaji: Metafisika,
Asumsi, Peluang, Beberapa asumsi dalam ilmu dan Batas – batas penjelaqjahan
ilmu”, maka penulis memberikan saran sebagai berikut :
1. Memperluas
cakupan materi yang berkaitan dengan obyek bahasan.
2. Membuat
peta konsep dari pembahasan ini yang bertujuan untuk memudahkan para pembaca
memahami secara singkat.
DAFTAR PUSTAKA
Jujun
S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka
Sinar Harapan, Jakarta, 1996.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Buku IA Filsafat Ilmu,
Universitas Terbuka, Jakarta, 1984/1985
Jalaluddin
Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997
0 Response to "Makalah Filsafat Ilmu"
Posting Komentar